Cerpen - Rambut Ombak Timung Te'e

 

Photo by Gemini AI

Aku tidak suka setiap melihat bayanganku di cermin. Kulitku gelap, hidungku pesek, dan rambutku..., berantakan. Mengembang seperti surai singa yang baru bangun tidur. Dari semua yang ada pada diriku, rambut itulah yang paling aku benci. Ia selalu menjadi bahan olokan Sintia dan dua temannya, Ruth dan Sheila.

"Monika kribo, Monika kribo!" teriak mereka.

"Rambutku tidak kribo, tetapi berombak!"

Sintia dan teman-temannya tertawa dan kembali berulang-ulang mengatakan kribo dan keriting. Aku sampaikan hal itu pada guruku, Bu Ita. Ia hanya memandangku sejenak dan berkata, "Mereka cuma bercanda."

Aku ingin menangis. Bercanda? Bagaimana mungkin hal seperti itu adalah bercanda? Memang kemudian Bu Ita menegur Sintia dan memintanya berjanji tidak akan melakukan itu lagi di depan kelas. Sejak saat itu, mereka tidak pernah terang-terangan mengatai rambutku lagi. Namun, setiap aku lewat, mereka berbisik dan tertawa. Suatu kali, aku mendengar Sintia berkata,

"Jangan ngatain Monik kribo. Dia enggak suka, dia akan melapor ke Bu Guru. Padahal kan itu benar, dia memang kribo."

Perkataan itu membuat perutku mual. Suara Sintia terngiang-ngiang di kepalaku. Ya memang benar, rambutku keriting. Dan keriting itu jelek sekali. Aku jadi makin membenci rambutku, bahkan ingin menariknya sampai habis. Seandainya rambutku lurus mungkin aku tak jadi bahan olokan. Namun, ketika aku meminta untuk meluruskan rambutku, Ibuku melarang. Padahal, ia juga meluruskan rambut berombak miliknya dan membuat rambutnya menjadi lebih rapi, lebih cantik.

"Ibu kan sudah tua. Rambut Ibu kuat terkena obat-obat pelurus rambut. Kamu masih 10 tahun."

"Tapi rambutku berombak, Bu. Keriting dan jenggerau," kataku. Itu bahasa Manggarai yang artinya rambut kribo yang berantakan.

Ibuku tersenyum, "Jenggerua, Monik." Ia menghela napas. "Kamu boleh meluruskan rambut, tapi nanti saat kuliah."

Aku mencoba protes dan merengut. Aku ingin mengatakan rambutku jadi bahan olokan di sekolah, tapi urung. Ibu pernah mengamuk saat aku masih TK karena seorang temanku menarik rambutku sehingga aku terjatuh. Melihat ibumu mengamuk karena ada yang melukaimu memang menyenangkan, tetapi tidak keren sama sekali. Aku akan punya julukan baru di sekolah si kribo anak tukang mengamuk.. Jadi aku hanya bisa memaksa Ibu.

"Monika! Sudah Ibu bilang tidak ada rambut lurus.” Ibu melotot tajam sambil menarik napasnya.

Aku segera diam. Aku tahu itu tanda Ibuku akan mengamuk. Meskipun ia telah lama tinggal di Jakarta, darah timurnya masih kental dan mudah mendidih.

Saat usiaku 11 tahun, kami mengunjungi Nenekku, Oma Martina di Ruteng, kampung halaman Ibu. Itu kunjungan kedua kami sekeluarga. Yang pertama enam tahun lalu, saat aku berusia 5 tahun jadi aku tak begitu ingat. Saat aku sampai, Oma memelukku erat dan mengatakan betapa cantiknya aku.

"Rambut ikal dan hidungmu yang pesek ini sungguh memikat, lempe nau."

Malamnya, Ibuku bilang itu artinya pesek tetapi cantik. Kemudian aku tahu bahwa orang Manggarai sering menggunakan pemanis di setiap kekurangan fisik. Ibu dan Ayahku hanya tinggal dua minggu. Sementara aku, atas permintaan Nenek dan karena sedang libur kenaikan kelas, tinggal lebih lama selama satu bulan dan akan pulang ke Jakarta bersama Adik Ibu, Om Sandi. Sebelum pulang, Ibu berkali-kali membuatku berjanji agar aku harus jadi cucu yang baik.

 "Oma lebih kejam dari Mama,” ujar Ibuku. “Mama dulu sering dipukul kalau melawan dan malas bangun pagi. Jadi kau harus rajin," Ibu memperingati sebelum pulang. Aku hanya mengangguk saja. Namun, ucapan Ibu itu tidak pernah terbukti karena Oma memperlakukan aku dengan baik dan tidak pernah sedikit pun bersuara kasar.

Setiap hari Oma akan bangun lebih awal dan memasak masakan terenak yang pernah kurasakan—lomak, urap daun singkong, sup babi brenebon, ikan cara, ikan kering khas Manggarai, balek tomat, dan kesukaanku, rebok. Rebok adalah beras yang digiling halus lalu dicampur parutan kelapa dan digoreng sampai garing tanpa minyak. Rasanya gurih seperti kue sagu, tetapi lebih manis karena dicampur dengan gula merah. Oma juga pandai membuat kue tradisional bernama kompiang yang dibuat menggunakan cou, sebuah bahan kue Tionghoa. Kue itu berbentuk bulat pipih dengan taburan longa, biji wijen di atasnya. Kue ini kebanyakan dibuat oleh keturunan Tionghoa dari Ruteng dan Oma mendapatkan resepnya dari seorang Aci, Nyonya keturunan Tionghoa, kawan lamanya. Kue buatan Oma sangat enak. Rasanya asin manis, mengingatkan aku pada roti bawang yang aku makan di sebuah restoran cepat saji, tetapi rasanya jauh lebih enak.

Jika tidak memasak, ia akan mengelus rambut ombakku dan mengatakan aku punya rambut tebal yang indah. Untuk pertama kalinya, aku merasa senang memiliki rambut berombak. Oma akan menaruh minyak kemiri bakar di rambutku semalam sebelum aku keramas dan itu membuat rambut rombakku lebih jatuh.

"Anak perempuan Manggarai berambut ombak adalah anak perempuan tercantik," ujarnya. Aku merasa dadaku mengembang karena bangga.

Kemudian ia menceritakan sebuah dongeng Manggarai tentang seorang perempuan bernama Timung Te’e.

"Pada zaman dahulu, hiduplah seorang perempuan cantik berambut ombak, sama sepertimu, bernama Timung Tee," Oma memulai. "Timung Tee memiliki kulit cokelat sawo matang, cokelat keemasan sepertimu, dan hidungnya pesek, tetapi itu membuat wajahnya jadi memikat, persis sepertimu."

Aku merasakan cuping hidungku mengembang.

"Tapi teman-temanku sering bilang hidung pesek, rambut berombak, dan kulit hitam itu jelek," kataku. Aku kemudian menceritakan bagaimana Sintia dan teman-temannya sering mengolok rambutku. Mataku berkaca-kaca.

"Itu karena mereka iri," kata Oma.

Aku mengerutkan dahi.

"Rambut mereka lurus, tapi tidak bergelombang dan penuh sepertimu. Banyak orang di dunia ini yang ramai-ramai membuat rambut mereka berombak seperti ini." Ia mengelus rambutku. "Kamu jadi lebih cantik karena rambutmu ini."

Telapak tangan Oma yang keriput mengusap rambutku, gerakannya lembut. Seluruh tubuhku terasa hangat, seolah ada matahari yang menyinari dari dalam. Oma mengelus rambutku lagi, lalu melanjutkan cerita.

Kecantikan Timung Te’e membuatnya dicintai semua makhluk di desa itu, baik manusia, hewan, maupun penunggu gunung. Banyak orang datang melamar Timung Te’e. Semua ia tolak dengan halus, sampai suatu hari muncullah seorang pemuda tampan dan sakti bernama Lanur. Ia melamar Timung Tee, yang juga jatuh hati pada pemuda itu, lalu mereka menikah. Mereka hidup bahagia dan tinggal di pondok dekat hutan. Sehari-hari, Lanur bekerja di ladang, sementara Timung Tee menanti di rumah sambil dedang, menenun kain, dan menyiapkan makanan.

Suatu hari, Timung Tee mencari buah-buahan hutan dan agak masuk ke dalam. Ia tidak menyadari Raja Kode, pemimpin monyet, memandangnya. Raja Kode jatuh cinta dan mengganggu Timung Tee. Sejak itu, hidup Timung Tee tidak pernah aman. Lanur berusaha mengejar Raja Kode, tetapi ia lincah berlari di atas pohon. Lanur pun tidak nyaman bekerja karena takut istrinya diganggu Raja Kode dan anak buahnya. Hal itu terus berlanjut dan membuat Lanur menyusun rencana. Ia pura-pura mati.

Timung Tee pun menangis di hutan dan Raja Kode yang kasihan bertanya, \

"Kenapa kau menangis?"

"Suami saya mati, tapi tidak ada yang menguburkannya," jawab Timung Tee.

Monyet itu senang sekali lalu menawarkan diri dan beberapa anak buahnya untuk membantu menguburkan Lanur. Pergilah Raja Kode dan 10 anak buahnya yang paling kuat ke rumah Lanur. Begitu mereka masuk ke dalam, Timung Tee segera mengunci pintu. Perempuan itu kemudian menawarkan sopi, minuman alkohol khas Manggarai, yang diterima Raja Kode dengan senang hati. Mereka minum sopi sampai mabuk dan ketika mereka sudah terbaring lemas, Lanur bangun lalu menghabisi semua kera itu. Sejak itu, tidak ada lagi yang mengganggu Lanur dan Timung Tee.

"Jadi Monik, ketika ada orang yang mengganggumu, susun rencana seperti Timung Tee dan Lanur. Serang saat mereka lemah," ujar Oma. Aku mengerutkan kening tidak mengerti.

"Orang yang bilang kau pesek dan rambut keriting, pasti mereka punya kelemahan. Jadi lawan mereka dengan kelemahan," jelas Oma. Ia menatapku dengan lembut, "Tapi orang yang mengolok kita itu biasanya karena mereka tidak baik-baik saja. Tapi bukan berarti kita harus diam saja."

Aku memikirkan Sintia serta alasan dia selalu menggangguku. Mungkin ia sedang tidak baik-baik saja.

Liburan itu aku habiskan dengan berbagai petualangan. Oma mengajakku ke pasar Inpres, bercengkerama dengan penjual sayur. Ia juga mengajakku ke kebun jagung miliknya yang luas dan mengajariku cara memanen jagung. Saat malam, ia kembali menceritakan dongeng-dongeng Manggarai, mulai dari kisah Pondik yang licik dan banyak akal, Buyung Telon yang selalu sial, dan kisah-kisah Lanur dan Timung Tee yang lain. Aku merasa hidupku jadi penuh dengan petualangan dan hal-hal baik dan seolah liburan sebulan itu setara dengan 11 tahun hidupku.

Aku menangis histeris saat pulang dan memeluk Oma dengan erat. Ia juga berkaca-kaca.

"Oma harus sehat terus. Harus umur panjang. Aku akan berlibur lagi nanti."

Oma mengangguk dan membelai rambut ombakku yang kini lebih halus karena minyak kemiri bakar, Aku pulang kembali ke Jakarta dengan dada yang mengembang, seolah ada sesuatu yang besar dan indah tumbuh di dalamnya. Setiap aku melihat bayanganku di jendela mobil, aku tidak lagi melihat surai singa yang berantakan, melainkan ombak hitam yang tebal dan kuat. Aku tidak lagi membenci rambut, hidung, atau kulitku. Semuanya membentuk aku, Monika yang cantik.

Hari pertama masuk sekolah, aku berjalan dengan penuh percaya diri. Sintia, Ruth, dan Sheila menghadang di depan pintu kelas.

"Wah, Monik si kribo sudah bersemangat sekali!"

Aku menarik napas dan memperhatikan tiga sekawan itu lekat-lekat. Monik berkulit kuning langsat dan berambut lurus, tetapi kulitnya pucat sekali. Ruth rambutnya lurus, tetapi tipis sekali. Sementara Michele hampir sama dengan Ruth.

"Aku semangat karena rambutku kribo dan lebat tidak seperti kalian," kataku. "Rambut kalian yang lurus itu sangat tipis. Dan kau, Sintia." Aku memandang tajam matanya, dari kepala sampai ujung kaki. "Kulitmu itu pucat sekali, tidak ada tanda kehidupan. Seperti mayat dan rambutmu meski halus tetapi tipis sekali. Tidak sehat seperti punyaku."

Ketiga sekawan itu terkejut mendengar sindiranku. Sintia maju dan mendorongku.

“Kamu enggak usah sok asik, deh.” Mukanya merah padam.

“Kamu jangan suka ngejek orang, deh.” Aku balas mendorong.

Kami saling mendorong hingga perkelahian sengit terjadi. Bu Tia memanggil orang tua kami ke sekolah. Setelah kami disidang, kami disuruh berjanji tidak saling mengolok dan berkelahi lagi.

Aku pulang menyusuri sekolah di samping Ibuku dengan wajah tertunduk. Ibu dan kedua orangtua Sintia berbicara cukup banyak dan tampaknya keduanya saling mengucapkan permohonan maaf berkali-kali. Saat ini wajah ibu datar dan sejujurnya membuatku gugup.

"Maaf ya, Bu. Aku sebenarnya enggak ingin..."

"Bagus, Monik. Kau membalas perkataan mereka," Ibu memelukku. "Tapi kau harus lebih baik sama Sintia, yah. Ibu dengar ia punya anemia kronis yang bikin wajahnya pucat dan rambutnya sering rontok."

Aku memandang Ibu dan teringat kata Oma, orang yang terluka mungkin melukai orang lain. Aku mengangkat bahu.

"Tapi itu tidak membuatnya punya hak untuk mengolok orang lain kan, Bu?"

Ibu tersenyum dan menghela napas.

"Intinya adalah kamu hebat sudah membela dirimu sendiri." Ibuku memeluk lebih erat. “Seharusnya kamu bilang kamu sering diolok karena rambut keritingmu ini,”

Aku tertawa, “Rambut ombak, Bu.”

Ibu ikut tertawa. Kami pulang ke rumah dan berjanji akan menelpon Oma.

***

 

Tidak ada komentar