Aku tidak suka setiap
melihat bayanganku di cermin. Kulitku gelap, hidungku pesek, dan rambutku...,
berantakan. Mengembang seperti surai singa yang baru bangun tidur. Dari semua
yang ada pada diriku, rambut itulah yang paling aku benci. Ia selalu menjadi
bahan olokan Sintia dan dua temannya, Ruth dan Sheila.
"Monika kribo,
Monika kribo!" teriak mereka.
"Rambutku tidak
kribo, tetapi berombak!"
Sintia dan
teman-temannya tertawa dan kembali berulang-ulang mengatakan kribo dan
keriting. Aku sampaikan hal itu pada guruku, Bu Ita. Ia hanya memandangku
sejenak dan berkata, "Mereka cuma bercanda."
Aku ingin menangis.
Bercanda? Bagaimana mungkin hal seperti itu adalah bercanda? Memang kemudian Bu
Ita menegur Sintia dan memintanya berjanji tidak akan melakukan itu lagi di
depan kelas. Sejak saat itu, mereka tidak pernah terang-terangan mengatai rambutku
lagi. Namun, setiap aku lewat, mereka berbisik dan tertawa. Suatu kali, aku
mendengar Sintia berkata,
"Jangan ngatain
Monik kribo. Dia enggak suka, dia akan melapor ke Bu Guru. Padahal kan itu
benar, dia memang kribo."
Perkataan itu membuat
perutku mual. Suara Sintia terngiang-ngiang di kepalaku. Ya memang benar,
rambutku keriting. Dan keriting itu jelek sekali. Aku jadi makin membenci
rambutku, bahkan ingin menariknya sampai habis. Seandainya rambutku lurus
mungkin aku tak jadi bahan olokan. Namun, ketika aku meminta untuk meluruskan
rambutku, Ibuku melarang. Padahal, ia juga meluruskan rambut berombak miliknya
dan membuat rambutnya menjadi lebih rapi, lebih cantik.
"Ibu kan sudah
tua. Rambut Ibu kuat terkena obat-obat pelurus rambut. Kamu masih 10
tahun."
"Tapi rambutku
berombak, Bu. Keriting dan jenggerau," kataku. Itu bahasa Manggarai
yang artinya rambut kribo yang berantakan.
Ibuku tersenyum, "Jenggerua,
Monik." Ia menghela napas. "Kamu boleh meluruskan rambut, tapi nanti
saat kuliah."
Aku mencoba protes dan
merengut. Aku ingin mengatakan rambutku jadi bahan olokan di sekolah, tapi
urung. Ibu pernah mengamuk saat aku masih TK karena seorang temanku menarik
rambutku sehingga aku terjatuh. Melihat ibumu mengamuk karena ada yang
melukaimu memang menyenangkan, tetapi tidak keren sama sekali. Aku akan punya
julukan baru di sekolah si kribo anak tukang mengamuk.. Jadi aku hanya bisa
memaksa Ibu.
"Monika! Sudah Ibu
bilang tidak ada rambut lurus.” Ibu melotot tajam sambil menarik napasnya.
Aku segera diam. Aku
tahu itu tanda Ibuku akan mengamuk. Meskipun ia telah lama tinggal di Jakarta,
darah timurnya masih kental dan mudah mendidih.
Saat usiaku 11 tahun,
kami mengunjungi Nenekku, Oma Martina di Ruteng, kampung halaman Ibu. Itu
kunjungan kedua kami sekeluarga. Yang pertama enam tahun lalu, saat aku berusia
5 tahun jadi aku tak begitu ingat. Saat aku sampai, Oma memelukku erat dan
mengatakan betapa cantiknya aku.
"Rambut ikal dan
hidungmu yang pesek ini sungguh memikat, lempe nau."
Malamnya, Ibuku bilang
itu artinya pesek tetapi cantik. Kemudian aku tahu bahwa orang Manggarai sering
menggunakan pemanis di setiap kekurangan fisik. Ibu dan Ayahku hanya tinggal
dua minggu. Sementara aku, atas permintaan Nenek dan karena sedang libur
kenaikan kelas, tinggal lebih lama selama satu bulan dan akan pulang ke Jakarta
bersama Adik Ibu, Om Sandi. Sebelum pulang, Ibu berkali-kali membuatku berjanji
agar aku harus jadi cucu yang baik.
"Oma lebih kejam dari Mama,” ujar Ibuku. “Mama
dulu sering dipukul kalau melawan dan malas bangun pagi. Jadi kau harus
rajin," Ibu memperingati sebelum pulang. Aku hanya mengangguk saja. Namun,
ucapan Ibu itu tidak pernah terbukti karena Oma memperlakukan aku dengan baik
dan tidak pernah sedikit pun bersuara kasar.
Setiap hari Oma akan
bangun lebih awal dan memasak masakan terenak yang pernah kurasakan—lomak,
urap daun singkong, sup babi brenebon, ikan cara, ikan kering khas Manggarai,
balek tomat, dan kesukaanku, rebok. Rebok adalah beras yang
digiling halus lalu dicampur parutan kelapa dan digoreng sampai garing tanpa
minyak. Rasanya gurih seperti kue sagu, tetapi lebih manis karena dicampur
dengan gula merah. Oma juga pandai membuat kue tradisional bernama kompiang
yang dibuat menggunakan cou, sebuah bahan kue Tionghoa. Kue itu
berbentuk bulat pipih dengan taburan longa, biji wijen di atasnya. Kue
ini kebanyakan dibuat oleh keturunan Tionghoa dari Ruteng dan Oma mendapatkan
resepnya dari seorang Aci, Nyonya keturunan Tionghoa, kawan lamanya. Kue
buatan Oma sangat enak. Rasanya asin manis, mengingatkan aku pada roti bawang
yang aku makan di sebuah restoran cepat saji, tetapi rasanya jauh lebih enak.
Jika tidak memasak, ia
akan mengelus rambut ombakku dan mengatakan aku punya rambut tebal yang indah.
Untuk pertama kalinya, aku merasa senang memiliki rambut berombak. Oma akan
menaruh minyak kemiri bakar di rambutku semalam sebelum aku keramas dan itu membuat
rambut rombakku lebih jatuh.
"Anak perempuan
Manggarai berambut ombak adalah anak perempuan tercantik," ujarnya. Aku
merasa dadaku mengembang karena bangga.
Kemudian ia
menceritakan sebuah dongeng Manggarai tentang seorang perempuan bernama Timung
Te’e.
"Pada zaman
dahulu, hiduplah seorang perempuan cantik berambut ombak, sama sepertimu,
bernama Timung Tee," Oma memulai. "Timung Tee memiliki kulit cokelat
sawo matang, cokelat keemasan sepertimu, dan hidungnya pesek, tetapi itu
membuat wajahnya jadi memikat, persis sepertimu."
Aku merasakan cuping
hidungku mengembang.
"Tapi
teman-temanku sering bilang hidung pesek, rambut berombak, dan kulit hitam itu
jelek," kataku. Aku kemudian menceritakan bagaimana Sintia dan
teman-temannya sering mengolok rambutku. Mataku berkaca-kaca.
"Itu karena mereka
iri," kata Oma.
Aku mengerutkan dahi.
"Rambut mereka
lurus, tapi tidak bergelombang dan penuh sepertimu. Banyak orang di dunia ini
yang ramai-ramai membuat rambut mereka berombak seperti ini." Ia mengelus
rambutku. "Kamu jadi lebih cantik karena rambutmu ini."
Telapak tangan Oma yang
keriput mengusap rambutku, gerakannya lembut. Seluruh tubuhku terasa hangat,
seolah ada matahari yang menyinari dari dalam. Oma mengelus rambutku lagi, lalu
melanjutkan cerita.
Kecantikan Timung Te’e
membuatnya dicintai semua makhluk di desa itu, baik manusia, hewan, maupun
penunggu gunung. Banyak orang datang melamar Timung Te’e. Semua ia tolak dengan
halus, sampai suatu hari muncullah seorang pemuda tampan dan sakti bernama
Lanur. Ia melamar Timung Tee, yang juga jatuh hati pada pemuda itu, lalu mereka
menikah. Mereka hidup bahagia dan tinggal di pondok dekat hutan. Sehari-hari,
Lanur bekerja di ladang, sementara Timung Tee menanti di rumah sambil dedang,
menenun kain, dan menyiapkan makanan.
Suatu hari, Timung Tee
mencari buah-buahan hutan dan agak masuk ke dalam. Ia tidak menyadari Raja
Kode, pemimpin monyet, memandangnya. Raja Kode jatuh cinta dan mengganggu
Timung Tee. Sejak itu, hidup Timung Tee tidak pernah aman. Lanur berusaha
mengejar Raja Kode, tetapi ia lincah berlari di atas pohon. Lanur pun tidak
nyaman bekerja karena takut istrinya diganggu Raja Kode dan anak buahnya. Hal
itu terus berlanjut dan membuat Lanur menyusun rencana. Ia pura-pura mati.
Timung Tee pun menangis
di hutan dan Raja Kode yang kasihan bertanya, \
"Kenapa kau
menangis?"
"Suami saya mati,
tapi tidak ada yang menguburkannya," jawab Timung Tee.
Monyet itu senang
sekali lalu menawarkan diri dan beberapa anak buahnya untuk membantu
menguburkan Lanur. Pergilah Raja Kode dan 10 anak buahnya yang paling kuat ke
rumah Lanur. Begitu mereka masuk ke dalam, Timung Tee segera mengunci pintu.
Perempuan itu kemudian menawarkan sopi, minuman alkohol khas Manggarai,
yang diterima Raja Kode dengan senang hati. Mereka minum sopi sampai
mabuk dan ketika mereka sudah terbaring lemas, Lanur bangun lalu menghabisi
semua kera itu. Sejak itu, tidak ada lagi yang mengganggu Lanur dan Timung Tee.
"Jadi Monik,
ketika ada orang yang mengganggumu, susun rencana seperti Timung Tee dan Lanur.
Serang saat mereka lemah," ujar Oma. Aku mengerutkan kening tidak
mengerti.
"Orang yang bilang
kau pesek dan rambut keriting, pasti mereka punya kelemahan. Jadi lawan mereka
dengan kelemahan," jelas Oma. Ia menatapku dengan lembut, "Tapi orang
yang mengolok kita itu biasanya karena mereka tidak baik-baik saja. Tapi bukan
berarti kita harus diam saja."
Aku memikirkan Sintia
serta alasan dia selalu menggangguku. Mungkin ia sedang tidak baik-baik saja.
Liburan itu aku
habiskan dengan berbagai petualangan. Oma mengajakku ke pasar Inpres,
bercengkerama dengan penjual sayur. Ia juga mengajakku ke kebun jagung miliknya
yang luas dan mengajariku cara memanen jagung. Saat malam, ia kembali
menceritakan dongeng-dongeng Manggarai, mulai dari kisah Pondik yang licik dan
banyak akal, Buyung Telon yang selalu sial, dan kisah-kisah Lanur dan Timung
Tee yang lain. Aku merasa hidupku jadi penuh dengan petualangan dan hal-hal
baik dan seolah liburan sebulan itu setara dengan 11 tahun hidupku.
Aku menangis histeris
saat pulang dan memeluk Oma dengan erat. Ia juga berkaca-kaca.
"Oma harus sehat
terus. Harus umur panjang. Aku akan berlibur lagi nanti."
Oma mengangguk dan
membelai rambut ombakku yang kini lebih halus karena minyak kemiri bakar, Aku
pulang kembali ke Jakarta dengan dada yang mengembang, seolah ada sesuatu yang
besar dan indah tumbuh di dalamnya. Setiap aku melihat bayanganku di jendela
mobil, aku tidak lagi melihat surai singa yang berantakan, melainkan ombak
hitam yang tebal dan kuat. Aku tidak lagi membenci rambut, hidung, atau
kulitku. Semuanya membentuk aku, Monika yang cantik.
Hari pertama masuk
sekolah, aku berjalan dengan penuh percaya diri. Sintia, Ruth, dan Sheila menghadang
di depan pintu kelas.
"Wah, Monik si
kribo sudah bersemangat sekali!"
Aku menarik napas dan
memperhatikan tiga sekawan itu lekat-lekat. Monik berkulit kuning langsat dan
berambut lurus, tetapi kulitnya pucat sekali. Ruth rambutnya lurus, tetapi
tipis sekali. Sementara Michele hampir sama dengan Ruth.
"Aku semangat
karena rambutku kribo dan lebat tidak seperti kalian," kataku.
"Rambut kalian yang lurus itu sangat tipis. Dan kau, Sintia." Aku
memandang tajam matanya, dari kepala sampai ujung kaki. "Kulitmu itu pucat
sekali, tidak ada tanda kehidupan. Seperti mayat dan rambutmu meski halus tetapi
tipis sekali. Tidak sehat seperti punyaku."
Ketiga sekawan itu
terkejut mendengar sindiranku. Sintia maju dan mendorongku.
“Kamu enggak usah sok
asik, deh.” Mukanya merah padam.
“Kamu jangan suka ngejek
orang, deh.” Aku balas mendorong.
Kami saling mendorong
hingga perkelahian sengit terjadi. Bu Tia memanggil orang tua kami ke sekolah.
Setelah kami disidang, kami disuruh berjanji tidak saling mengolok dan
berkelahi lagi.
Aku pulang menyusuri
sekolah di samping Ibuku dengan wajah tertunduk. Ibu dan kedua orangtua Sintia
berbicara cukup banyak dan tampaknya keduanya saling mengucapkan permohonan
maaf berkali-kali. Saat ini wajah ibu datar dan sejujurnya membuatku gugup.
"Maaf ya, Bu. Aku
sebenarnya enggak ingin..."
"Bagus, Monik. Kau
membalas perkataan mereka," Ibu memelukku. "Tapi kau harus lebih baik
sama Sintia, yah. Ibu dengar ia punya anemia kronis yang bikin wajahnya pucat
dan rambutnya sering rontok."
Aku memandang Ibu dan
teringat kata Oma, orang yang terluka mungkin melukai orang lain. Aku
mengangkat bahu.
"Tapi itu tidak
membuatnya punya hak untuk mengolok orang lain kan, Bu?"
Ibu tersenyum dan
menghela napas.
"Intinya adalah
kamu hebat sudah membela dirimu sendiri." Ibuku memeluk lebih erat. “Seharusnya
kamu bilang kamu sering diolok karena rambut keritingmu ini,”
Aku tertawa, “Rambut
ombak, Bu.”
Ibu ikut tertawa. Kami
pulang ke rumah dan berjanji akan menelpon Oma.
***

Tidak ada komentar