Restu Bapak

 


*Aku menulis cerpen ini Bukan Mei 2016, 9 tahun lalu :)

Kira-kira sepuluh jam yang lalu, getaran ponsel memecah keheningan malam di Bali. Sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Kini, aku sudah berada di dalam pesawat, melayang di atas awan, membawa diriku dari Bandara Ngurah Rai Denpasar menuju ke Bandara Juanda Surabaya. Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka akan kembali ke kota ini. Awalnya, kupikir telepon itu dari salah satu klienku. Sebagai wedding planner, aku memang sering ditelepon malam-malam, terkadang di tengah malam buta. Biasanya yang menelepon adalah pengantin wanita yang mengalami sindrom panik sebelum menikah, suara mereka dipenuhi kecemasan, kadang bercampur dengan isak tangis.

“Mbak, gedungnya udah beres?”

“Mbak, gimana kalau calon suamiku nggak datang?”

“Mbak, batalin aja deh pemesanan gedung dan lain-lain. Aku nggak mau nikah.”

Terkadang aku bingung, aku ini wedding planner atau psikolog. Malam itu, aku sedang mengoleskan krim malam di wajahku, merasakan teksturnya yang dingin, ketika nada dering ponsel memecah kesunyian. Kuraih ponselku. Layarnya menampilkan sebuah nomor asing. Tanpa firasat buruk sedikitpun, kuangkat telepon itu.

“Halo?”

Di seberang sana, terdengar napas tercekat, seperti suara yang menahan beban berat. “Ma… Mbak Jo…. Joana.”

Suara itu. Jantungku seketika berhenti berdetak. Suara itu begitu akrab, namun telah lama terkubur dalam-dalam di bawah lapisan kenangan yang ingin kulupakan. Suara adik perempuanku, Susi. Tubuhku menegang, seolah setiap otot membeku.

“Ini Susi, Ma…, Mbak. Bapak sakit keras.”

“Bapak minta Mb…,ak pulang.”

Kata-kata itu bagai pukulan di dada. Aku menghela napas panjang, paru-paruku terasa kosong. Lidahku kelu, seolah aku tak pernah mengenal kata-kata. Aku ingin bertanya banyak hal, namun tidak ada suara yang bisa keluar dari tenggorokanku. Semua kenangan pahit itu kembali berkelebatan di benakku, seperti tayangan film yang diputar paksa.

“Mbak bisa pulang?” Suara Susi di seberang sana terdengar penuh harap. Aku bisa membayangkan wajahnya yang mungil, dipenuhi air mata dan rasa putus asa.

“Aku nggak tahu, Sus,” kataku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar. Bisa kudengar adik perempuanku itu menghela napas panjang, kekecewaan yang mendalam terasa jelas.

“Sudah tujuh tahun, Mbak. Aku…. Kami semua sudah menerima kondisi Mbak. Bapak serangan jantung seminggu lalu….” Isak tangis Susi pecah di seberang sana, mengiris hatiku. “Bapak bilang dia ingin ketemu, Mbak. Sangat ingin.”

Tenggorokanku kering. Rasanya seperti menelan pecahan kaca. Setelah lima tahun tidak pernah mendapat kabar dan enggan memberi kabar ke keluargaku, rasa menyesakkan itu selalu ada, hidup di sudut hatiku. Sudah tujuh tahun berlalu sejak aku berani jujur pada keluargaku tentang keinginanku. Bapakku, seperti yang kuduga, mengusirku dari rumah.

“Kamu memang bikin malu keluarga! Kamu bukan anak saya lagi. Saya lebih baik punya anak seekor anjing daripada kamu. Pergi dari rumah ini!”

Kata-kata itu masih terngiang jelas di telingaku, membekas seperti luka bakar yang tak pernah sembuh.

“Mbak Joana….” Suara lirih Susi terdengar kembali, menarik aku dari pusaran ingatan pahit itu.

Aku mengusir sesak yang kurasakan di dada. Aku mengepalkan tanganku erat-erat, kuku-kuku jariku menekan telapak tangan, berusaha mengendalikan emosiku.

“Bapak mungkin nggak akan bisa bertahan kali ini. Sekarang Bapak sedang di ICU. Beliau tak sadarkan diri sejak seminggu yang lalu, Mbak. Dalam tiga tahun ini sudah lima tiga kali serangan.” Suara Susi tercekat. “Kumohon pulanglah, Mbak! Temui Bapak untuk terakhir kalinya.” Dia semakin terisak.

Tangisan Susi membuat sesuatu di hatiku tergugah, seperti bejana kosong yang perlahan terisi kembali. Aku merasa sebuah dinding yang telah aku bangun selama bertahun-tahun runtuh perlahan. Sejak kejadian pengusiran itu, aku memang sudah menganggap diriku yatim piatu. Pulang dari Bangkok, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal di Bali.

“Darimana kamu dapat nomorku, Sus?” Aku sadar, selama tujuh tahun ini tak pernah menghubungi keluargaku lagi.

“Aku tahu dari Mas Anton kalau Mbak Joana udah jadi wedding planner di Bali. Aku google nama Mbak dan nomor telepon Mbak ada di sana.”

Aku mendesah mendengar nama Anton disebut. Si kunyuk itu memang payah dalam menyimpan rahasia. Aku tersenyum kecil, memikirkan betapa Anton selalu menjadi sahabat yang paling bisa diandalkan. Kuduga Susilah yang mencari Anton dan Anton yang memberinya petunjuk.

“Mbak, kumohon pulanglah!”

“Aku akan pulang besok pagi-pagi.” Aku terkejut mendengar perkataanku sendiri. Pulang? Besok? Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku, seolah bukan diriku yang mengucapkannya.

Percakapan telepon itu berakhir setelah Susi terisak dan mengucapkan banyak terima kasih. Perasaan aneh menyusup hatiku. Sebuah rasa yang lembut dan tak familiar, campuran antara takut dan harapan. Apakah aku benar-benar telah memaafkan Bapak? Atau apakah aku hanya ingin melihatnya untuk terakhir kalinya, mencari penutup dari semua luka ini?

“Mbak, lima menit lagi kita akan sampai di Surabaya. Sila kenakan sabuk pengamannya!” Sebuah suara manis pramugari mengagetkanku.

Aku tersentak dari lamunanku yang panjang. Jantungku berdegup kencang, berirama dengan mesin pesawat. Surabaya? Ah, kota ini punya banyak kenangan, baik manis maupun pahit. Kota ini adalah saksi bisu dari semua yang pernah aku alami.

Susi menjemput di bandara. Matanya membelalak kaget saat melihatku.

“Mbak cantik mirip ibu.” Dia tersenyum canggung. Kami berdua hanya melihat Ibu di foto. Ibu meninggal ketika melahirkan Susi. Waktu itu usiaku tiga tahun. Kuraih adikku itu dalam pelukanku. Susi bertubuh mungil. Tingginya hanya sampai di dadaku. Ah, akulah yang memang bertubuh terlalu tinggi. Beberapa pasang mata melihatku, membuatku risih. Ah, aku kangen Bali. Hanya di sana aku merasa nyaman menjadi diri sendiri.

“Sebaiknya kita segera pergi, Sus!” Adikku mengerti. Kami berjalan pelan menuju parkiran mobil. Setiap langkah terasa berat, diisi oleh keheningan yang canggung.

“Mbak nggak bawa koper? Mbak hanya bawa dua tas itu?” Susi menunjuk ke arah tas tangan dan sebuah tas ukuran sedang yang kupegang.

“Aku nggak lama, Sus. Aku hanya ingin melihat Bapak sebentar di rumah sakit dan kembali ke Denpasar nanti malam.”

Susi mendesah. Dia ingin mengatakan sesuatu tetapi ditahannya. Kami masuk ke mobil dalam diam. Hanya suara pendingin udara yang mengisi keheningan.

Sejak kecil aku selalu menyukai pernikahan. Pernikahan pertama yang kusaksikan adalah pernikahan Tante Ayu, adik Ibu. Waktu itu umurku tujuh tahun dan adikku Susi berumur empat tahun. Kami duduk di bangku paling depan gereja. Aku terpukau waktu Tante Ayu muncul dengan gaun pengantinnya yang indah, gaun itu berkilauan diterpa cahaya, seolah-olah terbuat dari salju. Aku membiarkan mataku mengamati setiap detail, mulai dari renda di bagian lengan hingga manik-manik kecil yang berkilau.

“Aku akan pakai gaun seperti Tante Ayu, Sus,” bisikku, mataku tak lepas dari Tante Ayu.

Susi hanya mengangguk kecil, terlalu muda untuk memahami obsesiku. Sejak itu aku punya obsesi aneh pada pernikahan. Bukan hanya pada gaunnya, tetapi juga pada gedung pesta, acara pesta, makanan, dan sebagainya. Aku mendapati diriku senang sekali memperhatikan semua elemen itu saat mengikuti pesta pernikahan. Semua orang menganggap tingkahku aneh, kecuali Anton.

“Mbak, kita sudah sampai di rumah sakit,” ujar Susi, memecah lamunanku.

Aku kembali tersadar dan mendapati kami telah sampai di rumah sakit Swasta di Surabaya. Kami berjalan dalam diam menyusuri lorong rumah sakit yang lengang, hanya terdengar suara langkah kami yang bergema.

“Bapak sudah dikeluarkan dari ICU semalam, Mbak,” ujar Susi sambil membawaku masuk ke sebuah ruang rawat VIP. Bapak sedang terbaring di satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Ruangan itu terasa dingin dan berbau obat-obatan, menciptakan suasana yang mencekam.

Jantungku kembali berdetak kencang, seperti genderang perang. Aku merasakan getaran di tanganku.

“Sus, aku ingin ke toilet dulu!”

Susi menunjukkan ke arah kanan. Dengan langkah seribu, aku berjalan ke sana. Ku pandangi diriku di cermin toilet. Wajah mulus tanpa jerawat. Leher jenjang indah. Payudara montok dan berisi. Aku memang cantik dan selalu merasa cantik. Namun hari ini aku merasa aku tidak sempurna. Perasaan seperti ini pertama kali muncul saat Bapak menemukan majalah pernikahan di kamarku, ketika aku SMA.

“Yang suka pada pernikahan itu anak perempuan, Johan!” Suara Bapak terdengar keras dan menggema, penuh kekecewaan.

“Aku yang salah sejak Ibu kalian meninggal, aku sibuk mengurus diriku sendiri. Tak ada yang memperhatikan kalian.”

“Kau itu putraku Johan. Seorang laki-laki. Mengapa kau bertingkah seperti perempuan?”

Bapak membakar semua majalah pernikahan yang dia temui di kamarku. Api membakar kertas dan mimiku, membuat semua mimpiku menjadi abu. Aku tidak bisa tinggal di sana lagi. Aku kabur ke rumah Anton.

“Menurutku tak ada yang salah dengan menyukai pesta pernikahan? Aku juga punya hobi aneh.” Mata cokelat indahnya menatapku, memberikan kehangatan dan rasa penerimaan yang sangat kubutuhkan. “Aku suka banget mengoleksi G-String.” Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Dengan Anton aku membuka semua rahasiaku.

“Aku ini beda, Nton.”

“Aku tahu, Jo. Aku juga begitu.” Kami berdua tersenyum. Aku menemukan sahabat, belahan jiwa, seseorang yang mengerti aku tanpa perlu kata-kata.

Saat kuliah, aku mulai lebih terbuka. Aku berani jujur pada diriku sendiri. Banyak laki-laki yang kemudian masuk ke kehidupanku. Bapak pura-pura tak mendengar gunjingan di luar sana. Hubungan kami memanas, dan aku jarang pulang ke rumah. Pacarku seorang pria kaya. Dia membiayai semua hidupku. Namun aku tidak puas. Aku tahu aku seorang perempuan sejati. Aku kemudian bekerja dan mengumpulkan uang untuk melaksanakan tekadku menjadi perempuan sejati. Di Bangkok lebih murah, kata mereka. Setelah lima tahun dan kurasa uangku cukup, aku menghadap Bapak. 

“Pak, aku ingin operasi kelamin.”

“Mbak!” Suara Susi terdengar dari pintu.

Aku menghela napas, merasakan getaran di sekujur tubuhku. Dengan langkah berat, aku membuka pintu.

“Bapak sudah bangun. Dia ingin ketemu.”

Kembali rasa itu menyergap, rasa takut yang berbaur dengan kerinduan yang mendalam. Dengan berat, aku melangkah ke luar, setiap langkah terasa seperti menapaki jurang. Aku mendekat ke tempat tidur Bapak.

Laki-laki tua itu terbaring lemah. Wajahnya kurus dan kusut, garis-garis kelelahan tergambar jelas. Matanya terbuka perlahan, mencari sosokku.

Dia tersenyum memandangku.

“Kau Cantik seperti Ibumu.”

Seketika air mata membasahi pipiku. Aku bersimpuh di samping tempat tidur dan memegang tangannya yang kurus. Menangis terisak-isak, membiarkan semua emosi yang telah kutahan selama bertahun-tahun keluar.


Tidak ada komentar