Healing Journey - Memahami Stres




 Saya ingin menulis ini dalam bahasa Inggris, tetapi saya pikir akan lebih baik saya menulisnya dalam bahasa Indonesia agar pesannya sampai. Di postingan sebelumnya saya sampaikan bahwa saya mengalami stres yang cukup besar karena IELTS. Sampai 2 bulan kemudian saya hidup di mode yang tidak terkontrol. Sebenarnya bukan hanya IELTS sih, itu bisa dibilang hanya puncak gunung es. Ada kurang tidur, kecanduan smartphone, lack of confidence, bad mental health practice, kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, bad financial literacy and situation. Kalau boleh saya akan jabarkan satu-satu.


IELTS menyebabkan saya terjebak dalam utang cukup besar dan sesekali saya meratapi utang tersebut. Saya juga tidak memiliki personal finance yang cukup bagus dan hampir tak punya tabungan. Masalah ini diperparah karena melihat orang lain tampak menikmati hidupnya, tampak banyak uang untuk bersenang-senang, tampak bahagia. Iri hati pada kebahagiaan orang lain adalah perasaan yang wajar, tetapi kalau sudah membuat kita mempertanyakan self-worth, itu sudah menjadi hal buruk.


Kecanduan smartphone. Ini hal buruk karena hampir selama 2025 saya selalu tidur di atas jam 11, menghabiskan waktu menyekrol HP. Percayalah, ini kebiasaan yang kemudian memperparah stres—seperti memaksakan tubuh yang ngantuk parah menyetir mobil ditemani musik klasik. Kecelakaan menanti. Kurang tidur saya sudah di tahap bekas hitam di mata yang cukup parah.


Lack of confidence, bisa dibilang sindrom Impostor. Saya tiba-tiba tidak percaya diri untuk semua hal: mulai dari keinginan S3, menulis, peran sebagai dosen, dan sebagai orang tua. Dampaknya, saya jadi pemarah dan sensitif terhadap apa pun. Saya juga jadi suka memuji orang terlalu berlebihan dan tak punya preferensi. Mengikuti alur yang disukai kebanyakan orang. Bukan hal menyenangkan untuk diceritakan.


Bad mental health practice: tidur kurang, bergosip, mengkritik diri dan orang lain, tidak pergi dari orang toxic, menghabiskan waktu di sosial media terlalu lama, spiritual life rendah, tidak bersyukur.


Membandingkan hidup dengan orang lain, terutama di sosial media.


Semua kebiasaan jelek ini membuat perilaku saya buruk sekali: oversharing, menganggap remeh orang lain, anger issue (meledak dan memaki), munafik, tidak punya pendirian, dan tidur tidak tenang karena merasa menjalani hari dengan penuh permasalahan. Intinya: tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman itu sungguh penuh dan memblokir otak sampai ke titik saya harus melakukan sesuatu. Saya kemudian menonton podcast dari Mel Robins dan dr. Aditi ini. Ini podcast yang menjadi salah satu titik balik saya mengubah kebiasaan buruk.


Dalam podcast ini dibahas tentang stres. Dr. Aditi, seorang dokter yang expert di bidang stres dari Harvard University, menjelaskan bahwa stres adalah hal wajar. Ia menceritakan pasiennya yang didiagnosa kanker tetapi tampak kuat. Lalu ketika dokter mengatakan kanker mereka sembuh, alih-alih senang, mereka merasa stres. Dr. Aditi bilang hal ini wajar karena selama mengalami krisis, kita menekan stres kita, dan ketika masalah selesai—duar!—stres meledak. Hal itu sama banget dengan apa yang saya rasakan. Selama 5 bulan saya stres karena belajar IELTS, tetapi saya menekan itu semua. Stres saya terutama karena hasil IELTS saya harus minimal 7 di semua skill, dan itu hal yang susah. IELTS itu adalah cara agar saya bisa dapat LOA dan mempertahankan beasiswa saya yang akan hangus 6 Juni 2025. Ketika akhirnya hasil tes IELTS keluar, meski kurang, tapi saya berhasil dapat LOA dan mempertahankan beasiswa—rasa stresnya keluar.

Dr. Aditi memberi beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan stres ini dalam kurun waktu 8 minggu. Yang pertama: fokus pada dua hal kecil yang dilakukan setiap hari. Well, sampai nanti 8 minggu ke depan, semoga saya bisa memanajemen stres saya.


Tidak ada komentar