(Review 2014) Pulang


Judul: Pulang
ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Dia datang seperti selarik puisi yang sudah genap. Melengkapi nafasku yang mendadak terhenti. (hal.12)
Penggalan di atas adalah pikiran Dimas Suryo saat pertama kali Vivienne Deveraux, mahasiswa yg ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis, menyapanya di Paris tahun 1968. Saat itu sudah tiga tahun sejak
terakhir kali Dimas tidak melihat Indonesia dan berkelanan dari satu negara ke negara lain. Dimas tidak bisa kembali ke tanah air karena dia adalah buronon PKI yg bila nekat kembali ke Indonesia akan tamat riwayatnya.

Saat pertama kali dia bertemu Vivianne itu juga adalah saat Hananto, sahabat sekaligus atasan di surat kabar dia bekerja ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Kematian
Hananto seolah mematikan asa Dimas untuk bisa melihat Indonesia. Ibu dan Adiknya Aji mewanti-wanti untuk jangan pernah lagi menginjak Indonesia, apalagi Surti, istri Hananto dan ketiga anaknya juga dijadikan
tahanan. Bersama tiga buronan PKI lainnya yang Nugroho, Tjai, dan Risjaf mereka memutuskan untuk tinggal dan membuka usaha restaurant tanah air di Paris.

Kisah bergulir ke tahun 1998, saat Lintang Utara anak Dimas dan Vivienne memutuskan untuk membuat film dokumenter tentang korban PKI di Indonesia. Saat itu Indonesia
juga sedang corat marit, demonstrasi
menentang Presiden Soeharto terjadi dimana- mana dan riwayat kelam masa lalu Ayahnya membuat Vivianne terancam tidak bisa menginjakkan kaki di Indonesia. Beruntung atas bantuan Nara dan beberapa teman akhirnya Lintang bisa datang ke Indonesia. DI indonesia Lintang menemukan berbagai macam hal termasuk kisah cinta yang tak pernah selesai antara Ayahnya dengan Surti, istri Hananto, Pesona Alam, anak bungsu Hananto yang memabukkan, dan sejarah mengerikan tentang Indonesia, tentang bangsanya.

Novel dengan tebal 457 halaman ini sangat luar biasa. Penulis menulisnya dengan apik. Bahasa yang digunakan ringan dan api serta beberapa sentuhan humor yang berkelas. Berikut saya jabarkan komponen- komponennya.
TEMA
Novel ini mengambil tema yang tabu di
pemerintahan Soeharto yaitu PKI Tema yang tabu dan tak biasa ini berhasil diramu dengan baik dan menjadikan sebuah novel roman sejarah yang memukau. Terus terang
novel ini adalah novel tentang PKI pertama yang saya baca dan menurut saya yang terbaik. Mungkin karena tangan dingin Leila yang menulisnya, entahlah yang pasti buku ini luar biasa. Karena buku ini pulalah keinginan saya membaca tetralogi buru begitu besar. Terima kasih Mbak Lelila karena bukumu saya ingin membaca buku Om Pram yang luar biasa.

ALUR
Alur yang digunakan adalah alur bolak-balik. Anda akan dibawa dari masa depan ke masa sekarang. Dari masa Dimas sebelum serangan G30S PKI, masa dia saat menjadi mahasiswa Sastra di fakultas Sastra UI (yang dipakai ejaan lama), masa dia menjadi wartawan bersama Hananto, Masa kisah cintanya dengan Surti, Masa pelarian di Paris, hingga masa Lintang. Hanya saja Anda tidak akan menyaksikan masa-masa itu berurutan dari waktu ke waktu. Penulis menampilakn secara acak tetapi percayalah hal itu tidak masalah sama sekali, Anda akan tetap menikmati membaca buku ini.
POINT OF VIEW
Buku ini memakai point of view orang
pertama dari beberapa tokoh antara lain, Hananto Dimas, Lintang, Alam, Vivienne, dan Surti. Ada beberapa adegan yang menggunnakan POV orang ketiga. Anda bingung? Iya saya juga. Namun lagi-lagi dengan luar biasa Leila mampu membuat POV bolak-balik itu menjadi enak dibaca. Di titik ini saya benci pada penulis maestro ini,
dia dengan seenak hati membolak-balikkan POV dan taraa hasilnya sungguh luar biasa.

KHARAKTER
Kharakter dalam novel ini kuat dan vocal. Bahkan Lettu Mudkijo yang hanya nyempil diberi penokohan yang kuat sebagai tentara yang menakutkan dan bergigi berlian. Secara umum ada lima tokoh utama yang akan saya jabarkan karakter mereka.
Dimas Suryo,
Saya mengasumsikan bahwa Dimas Suryo adalah seorang Phlegmatis dan Melankolis. Dia sungguh manusia yang suka cari aman, hal ini terbukti dengan dia lebih memilih berada di tengah-tengah saat teman-teman kantornya mendukung aliran kiri. Dimas juga tampaknya tidak begitu suka berpolitik, dia lebih tertarik pada bacaan sastra. Sisi phlegmatisnya juga terdapat ketika dia ragu- ragu untuk bersama Surti. Namun, sebagai kekasih Dimas adalah kekasih yang romantis, puisi-puisi untuk Surti, puisi-puisi untuk Vivienne dan cara dia memilih nama untuk ketiga anak Surti dan anaknya sendiri, Lintang. Sebagai Ayah, dia adalah Ayah yang luar biasa. Ayah keren macam apa yang sudah memperkenalkan buku bacaan kelas dunia pada anak perempuannya? Kedekatannya dengan Lintang juga erat. Saya suka bagaimana kedua bapak-anak itu menceritakan kisah Ekalaya. Benar-benar kisah sedih. Sisi melankolisnya muncul ketika dia begitu teratur menyajikan bumbu- bumbu untuk restaurant mereka. Dimas juga cenderung memperlakukan sesuatu dengan perasaan. Sifat rela berkorban yang ditunjukkan ketika dia mengirimkan uang ke pada Surti pdahal dia sendiri mengalami kesusahan. Cara dia memperlakukan surat- surat dari Surti, buku-buku yang teratur dan simpati yang berlebihan pada kisah Ekalaya. Kepribadiannya Phlegmatis dan Melankolisnya itu menjadikan Dimas sedikit tertutup, dari novel dia jarang menceritakan hal pribadi ke pada orang lain. Dia lebih suka menyimpan segala sesuatu di dalam hati saja, termasuk ketika kesal pada orang
lain. Saya terbahak pada satu adegan dimana Dimas hendak melempar kalkulator Tjai di sungai Sienne.

Lintang Utara,
Lintang digambarkan sebagai perempuan korelis yang sanguis dan agak sedikit melankolis. Dia adalah perempuan yang selalu ceria, banyak berbicara dan memiliki pendirian teguh. Bagaimana dia tega tidak
berbicara pada Ayahnya karena pilihannya tidak dihargai adalah salah satu ciri korelis. Pun saat dai harus memilih antara Alam dan Nara. Lintang adalah perempuan cerdas yang bisa saya bilang agak mirip sedikit sama karakter Nadira, tokoh lain ciptaan Leila S Chudori. Lintang adalah perempuan mandiri yang saat berumur 23 tahun sudah tahu harus menjadi apa. Dia menyukai buku-buku hebat, sastrawan dan musisi kelas dunia dan tentu saja kekasih yang membanggakan (karena cantik)

Alam
Alam digambarkan sebagai laki-laki 32 tahun yang korelis populer. Sikapnya yang seenaknya saja, tak ingin ditindas dan bahkan tega menghajar anak populer demi membela sahabatnya Bimo adalah ciri khas para korelis. Sikap keras kepala dan blak-blakkannya juga menarik. Saya merasa Alam dan Lintang cocok satu sama lain, meski ah sudahlah untuk tahu hubungan mereka baca saja di novelnya.

Nara
Nara adalah salah satu tokoh yang kuat tetapi absurd. Maksudnya saya merasa dia sebenarnya tak penting tetapi punya peranan penting. Nah bingung kan? Saya juga sebenarnya bingung menjabarkan anak orang kaya yang mencintai Lintang ini. Sudah baca dan temukan sendiri sifatnya.

Surti
Surti adalah perempuan impian lelaki mana pun. Kecantikan, kepintaran, dan
kelembutannya adalah modal yang pas untuk dijadikan istri. Dia adalah tipe perempuan setia dan kuat. Dibalik keceriannya, dia menyimpan duka mengerikan. Dia adalah korban paling disakiti pada peristiwa pembatian PKI. Percayalah setelah mengetahu apa yang terjadi pada Surti, saya membenci Soeharto dan Orba.

Vivienne
Sebagai orang Prancis, Vivianne adalah
seorang yang melankolis. Dia sebenarnya bukan tokoh kunci di kisah ini, tetapi saya menyukai karakternya. Well, seperti kebanyakan Bule yang lebihmengutamakan logika daripada perasaan Vivienne menambah manis kisah ini. Kisah cintanya dengan Dimas adalah kisah cinta romantis.

Masih banyak tokoh-tokoh yang lain seperti Nugroho, Risjaf, Tjai, Bimo, Hananto, Kenanga, dan lain-lain yang tak kalah menarik dan sangat kuat. Namun, saya rasa lima tokoh sentral di atas telah mewakili tokoh-tokoh lain.
SETTING
Buku ini adalah novel ketiga yang saya baca tentang Paris setelah The Moveable Fiesta dan Last Tango in Paris. Dibandingkan dengan Moveable Fiesta dan Last Tango in Paris, setting Paris dalam Pulang tak kalah menawan. Leila S Chudori mampu menjadikan Paris sebagai satu kesatuan dengan novel ini. Setidaknya saya bisa
membayangkan bagaimana universitas
Sorbonne, toko buku Shaskepere and co dan tentu saja sungai Sienne (danau dimana Dimas akan membuang kalkulator Tjai :D)
Setiing jakarta di tahun 1998 juga merupakan setting yang luar biasa.

Secara umum novel ini luar biasa sekali. Saya yang bisa dibilang tidak peduli dengan sejarah kelam Indonesia itu (karena saat SMP nilai sejarah selalu jelek huhuhu) menjadi melek dan tertampar. Beberapa tahun lalu saya mendaulat diri saya sebagai anti Nazi karena menonton film The pianist, Boy in Stripper Pyjamas, dan membaca buku harian Anne Frank karena merasa Nazy itu mengerikan. Dan lewat pulang saya mengetahui satu fakta mengerikan bahwa tentara yang tega menghabisi dan menyiksa tahanan PKI itu tak kalah mengerikan dari Nazy. Pulang membuat saya mendaulatkan
diri saya sebagai anti Orba. Nilai plus lain yg harus saya cantumkan di sini adalah kisah wayang, sisi lain Bima dan Ekalaya. Selama ini Biola tak berdawai-karya Senolah satu-
satu novel yg saya baca agak menyerempet kepada wayang. Melalui tokoh Dimas dan Lintang, saya mengerti sisi lain dari kisah Mahabrata, termasuk kesombongan Arjuna dan ketulusan Bima. Leila mampu menganalogikan kisah perwayangan dan kisah tokoh utamanya dan itu luar biasa.

Namun, ada beberapa hal yang agak
membuat saya mengerutkan kening, yaitu tentang penyakit serosis hati. Penyakit itu bisa dibilang tidak separah gagal ginjal dan gagal jantung tetapi membuat kematian begitu cepat (dalam kurun waktu sebulan) membuat saya bertanya-tanya. Biasanya kematian pasien serosis hati dibarengi dengan komplikasi yang menjurus ke gagal ginjal atau gagal jantung. Terlepas dari semua kekurangan itu, Pulang tetaplah novel luar biasa. Ending yg memukau dan beberapa adegan sensual yg seksi menutupi
kekurangan itu. Mungkin juga karena novel ini ditulis selama 7 tahun.. Wow banget.. Maka dari pada itu, bacalah novel ini. Jangan mati dulu sebelum baca novel ini. Niscaya pandangan kamu akan kehidupan akan
berubah.

1 komentar

  1. Saya kesetanan membaca novel ini... hahaha, dan setuju bahwa novel ini memang bagus. Bagus buat saya adalah: ketika Leila S. Chudori bercerita tengtang kuliner, saya ikutan ngeces, padahal nasi kuning justru makanan yg paling jenuh untuk saya makan. Tapi, entah kenapa justru setelah membaca "Pulang" minat saya terhadap nasi kuning jadi berlipat ganda, aneh ya?
    Dengan kata lain, penulis novel ini sanggup menggerakan saya untuk ikutan ngeces, horny, tegang dan memicu libido saya tentang sejarah, dalam hal ini sejarah kelam 1965.

    BalasHapus